Jumat, 09 Maret 2012

Penyanyi Campursari Manthous Meninggal Dunia

Gunungkidul-JCM&matarama. Manthous telah meninggal dunia pada pukul 06.30 wib di Jakarta dan jenazah akan dikebumikan hari ini tgl 9 Maret 2012 setelah sholat Jumat di Playen Gunungkidul Yogyakarta.
Mungkin belum banyak yang mengenal sosok Manthous. Laki-laki kelahiran Yogyakarta, 10 April 1950 ini adalah pendiri Campur Sari sekaligus pencipta lagu. Nama Manthous cukup tersohor pada era tahun 1990-an, berkat lagu ciptaannya yang berjudul Getuk. Namun saat berada di puncak kesuksesan, ia mengalami sakit stroke yang menyerangnya dari tahun 2002 silam. Tanpa asuransi yang dimilikinya, kini Manthous hanya menggantungkan hidup dari uang tabungannya. Bagaimana kisahnya?
Siang itu, Senin (7/3), suasana di Perumahan Bukit Pamulang, Ciputat, terlihat lengang. Begitupun dengan suasana rumah milik sang maestro Campur Sari, Manthous (60). “Mari masuk, Mas Manthous sudah menunggu di dalam,” ujar perempuan bernama Utasih (55) yang tak lain adalah istri dari Manthous. Dengan ramah Utasih langsung mempersilahkan masuk ke dalam ruang tamu rumahnya yang memiliki ukuran 3×4 meter persegi.
Di ruang tamu terdapat sofa berwarna hijau muda bermotif bunga yang terlihat sudah agak lusuh, serta sebuah meja terbuat dari kaca. Di atas sofa tersebut Manthous terbaring lemah tak berdaya, akibat sakit stroke yang dialaminya sejak tahun 2002. “Anda siapa?” tanya Manthous dengan bicara agak terbata-bata.
Dengan mengenakan kemeja garis-garis berwarna cokelat dan memakai kain sarung berwarna biru, Manthous terlihat lesu dan lemah. Ia jadi sedikit hilang ingatan, serta lehernya selalu menoleh ke kiri dan kanan. Itu semua akibat dari sakit stroke yang di deritanya, sehingga ia terlihat seperti orang lumpuh. “Karena menderita stroke Mas Manthous jadi nggak bisa ngapa-ngapain,” papar Utasih sambil mengelus pipi suaminya.
Manthous sering meneteskan air mata kalau mengingat masa lalunya, apalagi saat mendengarkan lagu-lagu ciptaannya. Meski Manthous mengalami stroke yang membuat beberapa bagian tubuhnya lumpuh, akan tetapi ia masih bisa berbicara dan berjalan. Pihak keluarga pun sudah berusaha dengan segala cara untuk mengobati Manthous, namun hasilnya tetap nihil. “Keluarga sudah bawa bapak berobat ke dokter, pengobatan alternatif, bahkan dukun, namun semua tidak bisa nyembuhin penyakit bapak,” tutur Utasih sambil meneteskan air mata.
Manthous sendiri lahir di desa Gunung Kidul, Yogyakarta, dan ia adalah anak kedua dari enam bersaudara. Ia merupakan anak dari pasangan (Alm) Wiryo Atmodjo dan Sumartinah. Kakak Manthous bernama Anti Sugiartini, sedangkan keempat adiknya bernama Harjono, Yunianto, Sutomo, dan Heru. Saat itu ayah Manthous bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Wonosari, Jawa Tengah, sedangkan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Sejak kecil Manthous sudah mempunyai bakat seni bermusik, dan itu ia miliki secara otodidak (bakat alami).
Pada tahun 1957, Manthous kecil bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Ketika SMP dan SMA pun ia bersekolah di tempat yang sama, sehingga guru-guru di sekolah sangat mengenal sosok laki-laki yang memiliki nama lengkap Anto Sugiartono. Saat Manthous masih duduk di bangku SMP, ia sudah mendalami seni wayang. Bahkan Manthous selalu menjadi perwakilan sekolah bila ada perlombaan seni wayang.
Setiap pulang sekolah Manthous selalu bermain musik, dan itu ia lakukan hampir setiap hari. Bahkan ia lebih mementingkan bermain musik dari pada pendidikan, maka dari itu ia sering bolos sekolah demi bermain musik. Karena mempunyai obsesi yang kuat untuk menjadi seniman besar, maka pada tahun 1967 ia nekad pergi ke Jakarta. Saat Manthous memutuskan untuk pergi ke Jakarta, ia rela tidak melanjutkan sekolahnya yang kala itu masih duduk di bangku SMA.
Selama di Jakarta Manthous tinggal bersama kakaknya di daerah Jatinegara, Jakarta Pusat. Selain tinggal di rumah kakaknya, terkadang ia juga tinggal di rumah temannya. Saat pertama kali berada di Jakarta, Manthous menjalani berbagai macam jenis pekerjaan. Ia pernah bekerja sebagai kondektur bus, buruh pabrik sendok, montir bengkel motor, hingga pengamen.
Memasuki tahun 1970 keberuntungan mulai berpihak kepada Manthous, karena saat itu ia mulai bergabung dengan group musik bernama Bintang Group Jakarta, pimpinan Budiman B.J. Dengan membawakan tembang-tembang khas Jawa, Bintang Group Jakarta mendapatkan kontrak oleh Hotel Wisma Nusantara, Jakarta. Saat itulah Manthous akhirnya menemukan tambatan hatinya bernama Utasih, yang hingga kini menjadi istrinya. Manthous dan Utasih menikah pada 29 Oktober 1972, kemudian mereka berdua di karunia empat orang anak.
Dari tahun ke tahun Manthous menjalani karier bermusiknya, hingga pada tahun 1992 ia membuat gagasan dengan membentuk group Campur Sari. Sebenarnya group Campur Sari sudah ada jauh sebelum tahun 1992. Namun saat itu Manthous sebagai pencetus musik Campur Sari dengan menggunakan alat yang lebih modern. “Dahulu Campur Sari hanya memakai alat musik tradisional saja, dan akhirnya Mas Manthous coba menggabungkan dengan alat musik yang lebih modern,” jelas Utasih sambil memandang suaminya. Memang berkat Manthous musik Campur Sari jadi lebih berwarna dan tersohor.
Selain pendiri Campur Sari, Manthous adalah pencipta lagu yang handal. Banyak karya-karya Manthous yang laku di pasaran, contohnya seperti lagu Getuk yang dinyanyikan oleh Nurafni, lagu Jamilah yang dinyanyikan oleh Jamal Mirdad, lagu Surga Neraka yang di populerkan oleh Hetty koesendang, dan lagu Kangen yang di nyanyikan oleh penyanyi dangdut Evi Tamala. Untuk satu lagu biasanya Manthous mendapatkan bayaran Rp 1 juta. Sedangkan untuk sekali rekaman ia dapat meraup uang sebesar Rp 200 juta sebagai royalti.
Dengan uang sebanyak itu, Manthous bisa dikatakan cukup sukses dalam kariernya. Saat itu ia menjadi seorang yang kaya raya, hampir semua keinginan yang ia impikan bisa tercapai. Saat itu Manthous bisa membuat studio musik di Gunung Kidul dengan menghabiskan biaya sebesar hampir Rp 1 miliar. Kemudian ia bisa membeli empat buah mobil jenis Toyota Corolla, Toyota Crown, Isuzu Panther, dan sebuah truck untuk mengangkut alat musik. Selain itu ia juga bisa membangun dua rumah di daerah Gunung Kidul dan satu rumah di Pamulang (rumah saat ini).
Namun masa kesuksesan seorang Manthous hanya bertahan selama sepuluh tahun, hingga akhirnya ia menderita sakit stroke. Selain stroke, Manthous juga menderita penyakit diabetes dan darah tinggi. “Karena sakit itulah Mas Manthous jadi nggak bisa ngapa-ngapain lagi, hingga akhirnya karir Mas Manthous mengalami penurunan,” tutur Utasih sedih. Ketika mengalami stroke Manthous sempat tidak sadarkan diri, lalu ia dibawa ke RS Bethesda, Yogyakarta. Di rumah sakit ia menjalani perawatan selama dua minggu, dan menghabiskan dana sebesar Rp 12 juta.
Semenjak mengalami sakit stroke keadaan Manthous sangat memprihatinkan. Ia hanya menghabiskan waktunya di rumah dengan ditemani oleh istri, serta anak dan cucunya. Keluarga sudah berusaha membawa Manthous berobat kemana-mana, namun hasilnya tetap tak ada perubahan. Bahkan keluarga Manthous sering tertipu dengan orang-orang yang berusaha ingin menyembuhkan sakitnya. “Karena ingin Mas Manthous segera sembuh, kami sering tertipu orang dengan iming-iming pengobatan,” ungkap Utasih geram. Sejak kejadian itu keluarga jadi tidak percaya kepada pengobatan alternatif.
Sebagai seniman, Manthous sendiri tidak memiliki asuransi jiwa juga asuransi kesehatan. Dahulu sebenarnya ia sempat memiliki asuransi jiwa, namun karena tertipu Manthous pun memutuskan untuk tidak melanjutkan. “Bapak pernah punya asuransi jiwa tapi karena di tipu, jadi bapak nggak mau lagi pakai asuransi apapun,” terang Utasih.
Kini semua harta Manthous seperti rumah yang di Gunung Kidul dan keempat mobilnya sudah habis terjual. Uangnya tentu saja untuk biaya pengobatan dan menyambung hidup keluarga. Selama ini keluarga hanya mengandalkan uang tabungan yang tersisa. Beruntung ketiga anaknya yang bernama Tatut Dian Ambarwati (37), Ade Dian Chrismastuti (36), dan Denny Dian Nawanina (35) sudah berumah tangga, sehingga bisa mengurangi beban biaya. Biasanya ketiga anaknya yang sudah menikah ini sering membantu untuk masalah keuangan. Sedangkan untuk Anindya Lanu Wardhani (22) saat ini masih kuliah dan berdomisili di Yogyakarta, Jawa Tengah.
Akibat menderita stroke Manthous memang tidak berdaya lagi, bahkan sebagai kepala rumah tangga ia sudah tidak bisa berbuat banyak untuk keluarganya. Ia benar-benar menggantungkan hidup kepada istri dan keempat anaknya. Untuk bantuan dari rekan-rekan artis juga tidak ada, padahal sebagian dari mereka namanya pernah besar berkat Manthous.
Namun keluarga tidak pernah mempermasalahkan itu semua, karena keluarga yakin meski dengan keterbatasan ekonomi mereka bisa menyembuhkan Manthous. Beruntung Manthous memiliki istri dan anak-anak yang dengan setia selalu merawat, serta menemani dirinya. Paling tidak beban penderitaan Manthous sedikit berkurang, karena mendapatkan kasih sayang yang tulus dari keluarga.

Sumber : http://www.matarama.co.id/news/manthous-campursari-meninggal-dunia.html

Kamis, 08 Maret 2012

Dikti Diminta Kaji Syarat Lulus Sarjana

Yogyakarta-JCM&MetroTV. Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) perlu mengkaji ulang syarat kelulusan program strata satu (S1) yang mewajibkan calon sarjana menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Hal itu dikatakan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid, di Yogyakarta, Sabtu (4/2).

"Persyaratan yang tertuang dalam Surat Dirjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah untuk program S1/S2/S3 yang merupakan salah satu syarat kelulusan yang berlaku mulai Agustus 2012 itu patut mendapatkan apresiasi, tetapi tidak realistis," katanya.

Menurut Edy, untuk saat ini persyaratan tersebut tidak membumi, karena tidak sesuai dengan daya dukung jurnal di Tanah Air. Pasalnya, sedikitnya terdapat 750 ribu calon sarjana setiap tahun di seluruh Indonesia, maka harus ada puluhan ribu jurnal ilmiah di negeri ini.

"Seandainya di Indonesia saat ini ada 2.000 jurnal, dan setiap jurnal terbit setahun dua kali, yang setiap terbit mempublikasikan lima artikel, maka setiap tahun hanya bisa memuat 20.000 tulisan para calon sarjana," kata Edy yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.

Ia mengatakan, meskipun jurnal itu jumlahnya berlipat lima, tetap tidak mampu menampung tulisan ilmiah calon sarjana di Indonesia. Sebab masih ada ratusan ribu calon sarjana yang antre untuk dimuat. Apalagi, jurnal tersebut juga digunakan oleh dosen dan peneliti.

"Meskipun kewajiban itu baru akan berlaku setelah Agustus 2012, tetap sulit dipenuhi. Hingga Oktober 2009 menurut Indonesian Scientific Journal Database terdata sekitar 2.100 jurnal yang berkategori ilmiah yang masih aktif. Dari jumlah itu hanya sekitar 406 jurnal yang telah terakreditasi," katanya.

Menurut dia, gagasan Dirjen Dikti ini cukup inovatif dan merangsang calon sarjana untuk berkarya. Namun, hal itu kurang diperhitungkan dan dipersiapkan secara matang. Jika dipaksakan akan memunculkan penerbitan jurnal asal-asalan yang sekadar untuk memenuhi persyaratan kelulusan S1.

"Jika hal itu terjadi, maka filosofi di balik penerbitan jurnal sebagai media mempublikasikan karya akademik tidak terpenuhi. Jurnal hanya menjadi media formalitas sebagai persyaratan untuk bisa meluluskan sarjana," katanya.

Oleh karena itu, kewajiban tersebut hendaknya dilakukan secara bertahap. Misalnya, secara bertahap kewajiban itu diberlakukan bagi program studi yang terakreditasi A. "Selain itu, Dirjen Dikti juga perlu melakukan simulasi tentang daya dukung dan lulusan sarjana setiap tahunnya," kata Edy.

Surat Dirjen Dikti tertanggal 27 Januari 2012 yang ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia itu di antaranya menyatakan untuk lulus program sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. (Ant/Wrt3)

Sumber : http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/04/80831/Dikti-Diminta-Kaji-Syarat-Lulus-Sarjana

Sejarah Tugu Jogja

Yogyakarta-JCM&petitabei. Bila datang ke Yogyakarta, dan kebetulan Anda bingung menentukan arah mau ke mana, ada satu patokan yang pasti dikenal oleh seluruh Wong Yogya. Itulah Tugu. Sebuah bangunan monumen sejarah yang terletak di perempatan bertemunya Jalan P Mangkubumi di sisi selatan, Jalan AM Sangaji di sisi utara, Jalan Jenderal Sudirman di sebelah timur, dan Jalan P Diponegoro di sebelah barat. Tugu setinggi 15 meter itu diresmikan pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819 Tahun Jawa.
Dari Tugu itu pula, maka pendatang dari luar Yogya seolah bisa ”menggenggam” seluruh kawasan kota ini. Tinggal mau ke mana? Semua bisa ditempuh dalam hitungan menit. Yogya kota kecil, Tugu bisa menjadi poros segala arah. Jika kemudian bingung di dalam kota Yogya, silakan kembali ke Tugu. Dijamin Anda tidak bingung lagi!
Asal tahu saja, Tugu itu ternyata juga menjadi salah satu poros imajiner pihak Kraton Yogyakarta. Jika ditarik garis lurus dari selatan ke utara, atau sebaliknya; maka akan ditemukan garis lurus ini: Laut Selatan (konon dikuasai oleh Kanjeng Ratu Kidul, istri Sultan Raja-raja Mataram), Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi.
Bahkan, Sultan sebagai penguasa Kraton Yogyakarta, jika duduk di singgasana di Siti Hinggil Kraton, ia bisa memandang Gunung Merapi di sisi utara. Ikatan magis antara Laut Kidul, Kraton, dan Gunung Merapi hingga saat ini dipercaya oleh Wong Yogya. Oleh sebab itu budaya larungan selalu dilaksanakan pada bulan Sura di Laut Selatan maupun Gunung Merapi oleh pihak Kraton.
Filosofi Berubah
Seiring dengan perjalanan sejarah, Tugu yang sudah berumur 100 tahun lebih itu rupanya akan diubah bentuknya. Perubahan bentuk itu – jika jadi dilakukan — jelas bisa dibilang melanggar undang-undang cagar budaya. Namun apa mau dikata jika yang mau mengubah adalah pihak Kraton Yogyakarta? Tentunya ada alasan kuat yang mendasarinya. Konon, dari catatan sejarah disebutkan, sosok Tugu yang ada sekarang itu sebenarnya telah mengalami perubahan bentuk dari sosok aslinya. Tugu itu semula didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Kerajaan Yogyakarta setelah Mataram Islam yang berpusat di Kartasura terpecah menjadi dua. Sebagian menjadi Kasultanan Yogyakarta, sebagian lagi menjadi Kasunanan Surakarta pada Perjanjian Giyanti tahun 1755. Tugu itu dulu disebut Tugu Golong-Gilig.
Bentuk Tugu Golong-Gilig itu, konon, puncaknya berupa golong (bulatan mirip bola) dan bawahnya berbentuk bulat panjang/silindris atau gilig. Tugu Golong-Gilig tersebut melambangkan tekad yang golong gilig (menyatunya pimpinan/raja dengan rakyatnya). Makna lebih jauh adalah bersatunya raja dan rakyatnya dalam perjuangan melawan musuh maupun menyatu dalam membentuk pemerintahan dalam satu negara. Di sisi lain juga bisa dimaknakan sebagai hubungan antara manusia dengan Sang Khalik.



Jika melihat makna Tugu Golong-Gilig adalah bersatunya antara raja dan rakyat, maka hal itu bisa dimengerti karena pendiri Kerajaan Yogyakarta – kala itu – dikenal sebagai pemberontak yang ingin memisahkan diri dari Kerajaan Mataram Islam yang justru dikuasai penjajah Belanda. Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I) memilih memberontak dan memisahkan diri daripada kerajaan di bawah pengaruh kekuasaan Belanda.
Pernah Runtuh
Tugu Golong-Gilig semula dibangun setinggi 25 meter. Kemudian karena gempa tektonik pada 10 Juni 1867 atau 4 Sapar Tahun EHE 1284 H atau 1796 Tahun Jawa sekitar pukul 05.00 pagi, tugu itu rusak terpotong sekitar sepertiga bagian. Musibah itu bisa terbaca dalam candra sengkala – sebuah catatan kata yang bermakna angka tahun — Obah Trusing Pitung Bumi (1796).
Tugu itu kemudian diperbaiki oleh Opzichter van Waterstaat/Kepala Dinas Pekerjaan Umum JWS van Brussel di bawah pengawasan Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati Danurejo V. Lalu tugu baru itu diresmikan HB VII pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819 Tahun Jawa. Oleh pemerintah Belanda, tugu itu disebut De Witte Paal (Tugu Putih).
Menurut kerabat Kraton Yogyakarta yang juga Kepala Bapedalda (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah) Daerah Istimewa Yogyakarta, Raden Mas Haji Tirun Marwito SH; saat ini Kraton Yogyakarta memang sedang mengkaji kemungkinan mengembalikan Tugu Yogya ke bentuk asalnya. ”Bentuk Tugu yang sekarang ini sudah direkayasa oleh pihak penjajah Belanda saat itu. Akibatnya makna filosofinya sudah berubah,” tuturnya.
Saat dibangun kembali oleh pemerintah Belanda itu, di sana ada candra sengkala Wiwaraharja Manunggal Manggalaning Praja atau tahun Jawa 1819 yang berarti pintu menuju kesejahteraan bagi para pemimpin negara. Hal itu jelas bertentangan dengan simbol Golong-Gilig. Oleh sebab itulah maka pihak Kraton Yogyakarta berniat mengubah bentuk tugu yang sekarang.
”Bila nanti rencana itu dilaksanakan, ada beberapa kemungkinan yang akan ditempuh. Misalnya, Tugu Yogya yang ada sekarang ini dipindah dan diletakkan di pinggir jalan sebagai monumen bahwa Tugu Yogya pernah berbentuk seperti itu. Lalu di lokasi tempat tugu itu berada dibangun kembali Tugu Golong-Gilig seperti yang pernah dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I,” kata Tirun.

Sumber :  http://petitabei.wordpress.com/2011/04/01/tugu-jogja/

GEPARI menyerukan Lawan Patriaki dan Kapitalisme

Malioboro-JCM, (8/3). International Womens Day diperingati 8 Maret. TKW yang dipancung, nenek yang dipenjara kerena mencuri kakao, perempuan yang didagangkan (Trafficking, PSK), buruh perempuan dan PRT yang digaji murah dan sering rentan mendapatkan kekerasan fisik maupun psikis, setiap hari disuguhkan media di negri ini. miris memang melihat kenyataan kondisi perempuan di indonesia. komnas Perempuan, mengungkapkan kasus kejahatan seksual 13 tahun belakangan ini menembus angka 93.960 kasus. ini membuktikan kepada kita bahwa perempuan dimanapun berada dan kapanpun tidak bisa merasa aman dan nyaman. Di Yogyakarta, laporan dari berbagai lmbaga menyebutkan angka kekerasan seksual juga sangat tinggi. Rifka Annisa menyampaikan selama tahun 2011 terjadi 43 kasus perkosaan.
 Warga demo menuntut hak-hak mereka

Di parangtritis bantul, rendahnya perempuan yang berpendidikan memakasa perempuan banyak yang terjun kejurang pekerjaan yang sangat merendahkan dirinya, seperti menjadi Pekerja Seks Komersial (Baca;PeDila-Perempuan Yang dilacurkan)
Di Kulonprogo menyampaikan tingginya perkawinan dini di Kulonprogo menjadi satu penyebab kematian ibu meningkat. ini ditunjang oleh ketidak pahaman perempuan-perempuan pedesaan tentang kesehatan reproduksinya. Apalagi jika mempelajari reproduksi masih dianggap tabu oleh masyarakat, sehingga sangat sulit dalam menyadarkan perempuan terhadap hak-hak  kesehatan.
Demokrasi hanya dinilai 5 menit dalam 5 tahun dibilik suara ketika pemilu. sudah demokrasikah sebuah negara jika perempuan masih diperkosa, dilecehkan, dimiskinkan,?

Pada kesempatan International Womens Day (IWD) , GEPARI (Gerakan Perempuan Indonesia) yang terdiri dari Perempuan Mahardika, Hapsari, KPP,PKBI, Pembebasan , PPBI, KPO-PRP, PRD, LMND, PPR, Resista, PPRM, PMKRI, ARMP, dan Kasbi mengajak seluruh perempuan-perempuan indonesia dan rakyat indonesia menuntut kepada negara agar bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan perempuan, adapun tuntutan GEPARI sbb:
1. Tangkap dan adili dan penjarakan pelaku kekerasan seksual
2. Cabut UU dan Perda yang diskriminatif terhadap perempuan
3. Berikan jaminan hukum yang berprespektif pada korban kekerasan seksual
4. Proses peradilan yang berpihak pada korban kekerasan seksual
5. Hentikan pengiriman TKW ke luar negri, negara bertanggung jawab atas lapangan pekerjaan dan upah yang layak untuk perempuan dan rakyat indonesia
6. Cuti haid, cuti hamil dan melahirkan untuk buruh perempuan tanpa PHK
7. Lindungi anak perempuan dari pernikahan dini membahayakan kesehatan reproduksi perempuan
8. Hentikan stigatisasi terhadap perempuan pekerja seks dan remaja jalanan dalam program penanggulangan HIV-Aids
9. Pendidikan dan kesehatan geratis untuk seluruh rakyat indonesia untuk kemajuan tenaga produktif rakyat
10. Lawan patriaki dan kapitalisme penghambat kemajuan perempuan
11. Perempuan berorganisasi, belajar dan berjuang untuk pembebasan perempuan. (ags)